“COP28 kali ini dikuasai oleh ratusan lobbyists dari industri fosil yang hadir, jumlahnya melebihi suara-suara organisasi masyarakat terdampak. Ini juga sesuatu yang perlu kita tanyakan kepada penyelenggara UNFCCC, bagaimana hal ini bisa terjadi,” kata Nana Firman, Senior Advisor GreenFaith dan juga salah satu penggagas Ummah For Earth dalam diskusi GFTalk ke empat, 14 Desember 2023 bertajuk “COP 28 Telah Usai, Lalu Apa?”
Nana Firman menyesalkan sikap negara-negara maju yang sekali lagi gagal untuk memimpin inisiatif menutup penggunaan energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara dan bukan lagi sekedar mengurangi fosil. “Sementara negara maju mengurangi fosil, negara berkembang diminta menutup fosil mereka. Ini namanya tidak adil, bagaimana melakukan transisi dari fosil ke energi terbarukan tanpa dukungan dana. Seharusnya negara maju yang take a lead untuk menutup penggunaan energi fosil dong,” tambahnya.
Tapi Nana memberikan catatan positif untuk kesepakatan awal pendanaan Loss and Damage atau kehilangan dan kerusakan dari negara-negara maju kepada negara-negara paling terdampak akibat perubahan iklim. “Meski ini baru pledge ya sifatnya. Yang disepakati angkanya 700 juta dollar Amerika, dari kebutuhan sebesar 400 milyar dollar Amerika,” kata Nana, “itu pun tidak jelas bagaimana kriterianya, siapa yang akan membayarkan kepada siapa.”
Selain tentang pendanaan Loss and Damage, Hening Parlan, Koordinator GreenFaith Indonesia menyoroti pengakuan atas peran penting kelompok lintas agama dalam percakapan internasional tentang iklim. Pengakuan atas peran penting kelompok lintas agama ini diwujudkan dengan dibuatkannya Faith Pavilion dalam COP28. Sementara Indonesia, sudah membawa percakapan lintas agama dalam pembahasan iklim sejak COP26 di Glasgow 2021.
Kelompok lintas agama punya peran sangat penting dalam menggerakkan umat untuk menjaga bumi sebagai tempat tinggal bersama dan menjadi bagian dari ibadah.
“85% penduduk bumi ini masih mengaku beragama dan saya rasa menyangkut lingkungan semua agama tidak memiliki perbedaan pandangan untuk merawat bumi. Saya meyakini bahwa merawat dan menjaga bumi ini adalah jihad, karena itu kita kembali pada ajaran agama masing-masing dan dengan kekuatan bersama, kita bisa menjaga juga memperbaiki bumi kita,” kata Hening.
Dana Umat Sebagai Solusi Iklim
Permasalahan pendanaan selalu menjadi perdebatan panjang dalam negosiasi iklim COP – UNFCCC, dan salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah penggunaan dana-dana umat untuk solusi iklim. Catatan dari Islamic Development Bank tahun 2022 mengatakan sejak berkembangnya sistem finansial berbasis Islam tahun 1970an, setiap tahunnya dana yang terkumpul di seluruh dunia berkisar 30 milyar dollar Amerika dan penggunaannya sangat mungkin diarahkan untuk pendanaan berkaitan dengan perubahan iklim. Dikutip dari Reuters, sebanyak 354 organisasi pendanaan dari Gereja Khatolik di 50 negara telah menarik investasi mereka dari energi fosil. Ini adalah bukti nyata bahwa kelompok lintas agama memiliki kekuatan penggerak massa dan finansial yang dibutuhkan dalam mengatasi krisis iklim. Salah satunya dengan menginvestasikan dana pada pengadaan energi terbarukan.
Green Sukuk, Bank Syariah, dan Wakaf, adalah jenis-jenis pendanaan umat Islam yang dapat dimanfatkan dalam mengatasi persoalan iklim. “Penggunaan dana-dana umat ini sudah seharusnya dialihkan untuk kepentingan umat dan tidak untuk mendanai kegiatan yang justru merusak alam. Keuangan berbasis syariah sesuai dengan ajaran maka harus digunakan untuk menjaga keseimbangan di bumi ini,” tegas Nana
Tantangan terbesar muncul menurut peserta diskusi yang juga jurnalis, Irvan Imamsyah, bagaimana mengawasi praktik-praktik pencucian uang yang disimpan di lembaga-lembaga keuangan berbasis agama serta memanfaatannya agar tidak lagi mengalir pada perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan.
Selain jenis-jenis kelembagaan finansial berbasis agama yang sudah ada, Hening Parlan mengusulkan agar wacana menghitung karbon haji kembali dibahas sebagai salah satu bentuk pendanaan iklim. “Indonesia adalah pengirim jamaah haji terbesar di dunia ke Saudi Arabia. Bayangkan jika jejak karbo setiap jamaah dikonversi dalam bentuk dana yang harus dibayarkan oleh negara penerima Jemaah haji, berapa besar jumlah dana iklim yang bisa dikumpulkan?,” kata Hening
Catatan Langkah Strategis Mengatasi Krisis Iklim Untuk Calon Pemimpin 2024
Diah Suradiredja, aktivis lingkungan hidup yang hadir sebagai peserta dalam diskusi meminta para pembicara untuk merekam hasil diskusi dalam sebuah catatan rekomendasi kepada tiga kandidat pemimpin Indonesia di Pemilu 2024. Menurut Diah, kegagalan di tingkat dunia dalam COP28 adalah tantangan bagi pemerintahan baru Indonesia untuk menerjemahkan secara strategis upaya menyelamatkan lingkungan.
“Tinggal dua bulan waktu kita untuk merekomendasikan langkah-langkah konkrit apa yang bisa dilakukan oleh calon pemimpin untuk menyelamatkan lingkungan Indonesia. Kita tidak ada waktu dan tidak bisa menunggu komitmen dunia untuk membantu. Dengan cara yang santun, kita harus bisa memasukkan konteks lingkungan dalam kampanye dan rencana mereka memimpin nanti,” kata Diah.
Hening menanggapi positif usulan Diah dan menyanggupi penyusunan langkah strategis dari GreenFaith kepada para kandidat pemimpin, “karena merawat bumi adalah juga bagian dari jihad dan dalam konteks lingkungan kita tidak memiliki perbedaan pandangan agama,”kata Hening.
Nana menutup diskusi dengan mengatakan bahwa para calon pemimpin Indonesia tidak boleh mengotak-kotakan isu HAM atau lingkungan tetapi melihatnya sebagai sebuah kesatuan. “Tidak ada keadilan iklim tanpa penegakkan hak asasi manusia, dan tidak ada penegakkan hak asasi manusia tanpa melibatkan keadilan iklim. Perebutan lahan, perusakan lingkungan adalah tentang pelanggaran terhadap hak asasi manusia.”