Jakarta, 25 Januari 2024. Bekerjasama dengan Sekolah tinggi Filsafat dan Teologi Jakarta, GreenFaith Indonesia membahas keadilan iklim dengan kelompok mahasiswa dan komunitas berbasis agama Kristen dan Katolik, 25 Januari 2026. Kegiatan dibuka oleh Rektor STFT Jakarta, Prof. Binsar Jonathan Pakpahan yang dalam sambutannya menegaskan bahwa negosiasi-negosiasi iklim dunia seperi COP tidak terlalu efisien, maka yang perlu dilakukan adalah menggerakkan umat untuk melakukan aksi nyata. “Belum lagi bumi semakin panas jujur saja, bahkan upaya COP tidak terlalu efisien. Misal target komitmen negara pada tahun 2030 sekarang mundur jadi 2050. Termasuk tentang janji-janji transformasi jadi energi listrik ini misal mobil listrik tapi masih menggunakan batubara.” Ujar Prof. Binsar
Prof. Binsar juga menyinggung keresahan terhadap kondisi ketersediaan air bersih hari ini. Jika semakin berkurang, maka tidak ada penyangkalan lagi atas ancaman krisis iklim hari ini. Kekhawatiran terdekat adalah kondisi Jakarta pada tahun 2030 yang akan mendatang, mengingat penyedotan air tanah yang masif dilakukan.
Dalam sambutannya, Hening Parlan, Koordinator GreenFaith Indonesia merespon pertemuan COP28 lalu dan menagih konsistensi para pemegang kebijakan di setiap negara. “Mengingat kembali COP 27, ya memang tidak memuaskan Bapak-Ibu. Disana ada banyak ilmuwan melakukan riset dan memang tidak ada yang salah. Tapi, hasilnya tidak diikutin terutama oleh para pengambil kebijakan. Problem utamanya adalah keserakahan. Nah problem keserakahannya mereka bingung, mau diapain? Padahal keserakahan harus dikembalikan pada sisi manusianya. Bagaimana rasa kemanusiaan harus menumbuhkan rasa empati.” kata Hening. Hal inilah yang menjadi dasar untuk melakukan Training Climate Justice sebagai bagian dari menumbuhkan kesadaran membangun rasa kemanusiaan berbasis lingkungan.
Pemberian materi diawali oleh Dr. Bondan Kanumoyoso, S.S., M.Hum, sejarahwan Universitas Indonesia yang melihat akar masalah perubahan iklim sejak era kolonialisme. Ekspolitasi alam menurut Bondan sudah terjadi sejak maskapai dagang Belanda VOC menguasai tanah Nusantara terutama rempah-rempah. Penggundulan dan alih fungsi hutan menjadi Perkebunan dilanjutkan oleh Koloni Belanda sejak 1709.
“Dari sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia terlihat bahwa perubahan iklim yang kita alami saat ini merupakan dampak dari akumulasi berbagai bentuk eksploitasi ekonomi yang dilakukan tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam,” kata Bondan menutup presentasinya.
Dalam materi penyelamatan lingkungan dari perspektif Kristen yang disampaikan oleh Prof Binsar Pakpahan salah satu yang disoroti adalah gerakan moral Ugahari atau hidup cukup yang dirasakan kurang menggerakkan umat. “Konsep cukup itu berbeda bagi setiap orang, cukup bagi orang yang sudah merasakan ada, tetapi yang kekurangan, kita tidak bisa bilang cukup,” kata Prof Binsar. Tetapi Tuhan menitipkan alam ini bukan untuk diekploitasi melainkan dirawat.
Theodorus A. Harjana dari Laudato Si Indonesia mengingatkan bahwa umat Katolik harus mengikuti enklisik Laudato Si yang dicetus Paus Fransiskus ke UU yang menjadi acuan dalam doa dan harapan. Hal utama dalam Laudato Si adalah panggilan kepada umat Katolik untuk sadar menjaga lingkungan dan melarang perusakan terjadi. Menurut Theo, umat Katolik terus mengupayakan perbaikan lingkungan dalam gerakan Laudato Si yang dia menjadi anggota di dalamnya.
Selama kegiatan berlangsung, respon audiens perempuan mulai bergaung dalam forum ini. Debbie Sondakh dari Gereja Protestan Indonesia berharap bahwa gerakan GreenFaith Indonesia bisa berdampak secara signifikan. Bahkan baginya yang telah memasuki masa lansia, usia tak akan menghalangi langkah dan semangatnya untuk turut terlibat dalam menyuarakan bahaya krisis iklim mengingat keresahannya atas bencana yang hadir di Indonesia. Begitu pula Ibu Esther yang turut antusias hadir dalam kegiatan ini.
“Melatih dan membina anak dan keluarga untuk memiliki sikap berwawasan lingkungan adalah langkah utama yang perlu kita lakukan bersama. Bila perlu bisa dimulai dengan menyuarakan hastag #stopsampahplastik,” tutur Esther ketika memberi respon dalam kegiatan sebagai tindak lanjut atas komitmennya untuk terlibat dalam meraih keadilan iklim. Tak bisa dipungkiri lagi, langkah terdekat adalah keluarga. Sehingga dalam bayangannya, jika seluruh keluarga di Indonesia mampu melakukannya maka bangsa kita akan mampu untuk mewujudkan keadilan iklim untuk seluruh umat di bumi ini.